Tuesday, May 19, 2009
Bahayanya Jika Agama Dijadikan Alat Politik
Dengan latar belakang tragedi peledakan gedung menara kembar World Trade Center, 9 September 2001 seorang pendeta sekaligus teolog, Richard M Daulay, menulis sebuah buku "AMERIKA VS IRAK: BAHAYA POLITISASI AGAMA".
Mengapa Amerika menyerang Irak, apakah berlatarbelakangkan terorisme atau agama? Pertanyaan ini muncul lagi dalam acara bedah buku yang berawal dari tesis Daulay, "Pengaruh Neokonservatisme terhadap ’war on teror" pada era George W Bush, di Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisation, (CDCC), Jakarta, Jumat (15/5).
Richard Daulay dalam bukunya mengamati dua ideologi utama yakni ’neokonservatisme’ (neokon) dan ’fundamentalisme Kristen’. Daulay mencoba melihat korelasi kedua kekuatan ini dalam berbagai kebijakan luar negeri AS.
Neokon merupakan, sebuah ideologi yang dikembangkan oleh sekelompok akademisi dan politisi di Amerika untuk menjual demokrasi ke seluruh dunia sebagai jawaban persoalan yang ada di Internasional, yang menyatakan apabila negara Timur Tengah menjadi negara demokratis seperti Israel, dunia akan menjadi aman.
Sedangkan "fundamentalisme kristen" tercipta karena adanya sekelompok teolog yang mengartikan alkitab secara harfiah, dimana mereka menyatakan bahwa Tuhan Yesus suatu saat akan datang kedua kalinya ke Jerusalem, dan pada saat kedatangannya akan terjadi perang "Armagedon" selama 1000 tahun sesudah itu akan terjadi dunia dan langit yang baru.
Menurut Daulay kedua faktor ini bersinergi dalam diri seorang presiden Bush yang waktu itu sedang panik menghadapi ancaman teroris, lalu dia mengadopsi ideologi neokon, Bush juga mendapat inspirasi dari "fundamentalisme" maka terjadi perang yang akhirnya ditentang dunia.
Pada awalnya dunia setuju ketika Bush mendeklarasikan perang terhadap terorisme, tapi pada akhirnya Bush keluar dari rel dengan melakukan perang melawan Irak sehingga dunia bahkan gereja-gereja "mainstream" di Amerika juga menentang.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pendeta, alih-alih memisahkan masalah 911 dari agama, Richard Daulay malah mencoba menelusuri sampai sejauh mana pertimbangan-pertimbangan teologis memengaruhi produk kebijakan Presiden George W. Bush.
Agama Rentan Dalam Politik
Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama (HAK)-KWI, Romo Benny Susetyo, yang menjadi salah satu pembahas dalam acara tersebut, mempertanyakan mengapa agama begitu rentan dengan tafsir-tafsir yang membenarkan sehingga motif penyerangan AS ke Irak ada motif suci.
Menurut Romo Benny, ketika bush mengunjungi Paus Paulus II sebelum mengambil keputusan untuk menyerang Irak, Paus menolak keputusan Bush karena menurutnya, Bush menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik tertentu, Paus juga melarang Bush untuk menyerang Irak karena dianggap tidak memahami kitab suci.
Romo mengatakan banyak kebijakan politik luar negeri Amerika tidak memahami kultur dan asal sehingga membawa negara adidaya itu terseret dalam sentimen-sentimen keagamaan seolah tugasnya suci dan mulia tetapi sebenarnya justru menghancurkan kemanusiaan, "Timbulnya teror dari politik luar negeri AS dari ketidakadilan atas masalah Timur Tengah, sehingga ada trauma di anak muda Palestina dan Afganistan, melihat bahwa Amerika menghancurkan kehidupan mereka," kata Romo Benny.
Selain itu, dibalik semua terorisme itu karena Amerika terlalu memaksakan demokrasi sebagai model yang tidak memahami kultur masyarakat tertentu, sehingga akibat dari itu semua ketidaksiapan menghadapi demokrasi dalam globalisasi yang mengeksplotasi sumber daya alam, sehingga pihak yang kalah mengunakan terorisme sebagai pembelaan diri, tambahnya.
Yang menjadi perhatian Daulay adalah agar AS tidak mengulangi kebijakan menggunakan Agama dijadikan politik dalam kebijakan. dan juga sebagai peringatan bagi Indonesia.
"Di Indonesia juga hampir sama, kalau agama yang dijadikan alat politik akan mahal, karena banyak orang tidak bersalah menjadi menjadi alasan pembenaran. Sehingga jutaan orang jadi korban di Irak dan Afganistan karena ambisi perang suci, dan ini terjadi terus menerus di dunia. Ambisi perang suci kerap kali membuat orang termotivasi," tambah Romo.
Romo menambahkan, Bush lebih melihat motif agama dijadikan sebagai motif untuk membenarkan perang itu tapi sebenarnya penguasaan eksploitasi minyak lebih besar karena Bush juga memiliki saham terbesar dari perusahan minyak AS.
Oleh karena itu terjadi perselingkuhan antara kekuasaan dan pasar, motif itu harus dilihat bukan hanya dari keagamaan tapi juga dari motif ekonomi.
Dalam kesempatan yang sama, Sekeretaris pertama kedutaan Besar AS untuk Indonesia, Stanley Harsha, menyatakan, sebelum menjadi presiden AS Bush bertemu dengan pendeta Billy Graham, seorang ’evangelis’ terkenal, seperti yang dilakukan hampir semua presiden AS sejak masa Presiden Dwight Eisenhower.
Menurut Stanley, secara psikologis orang Amerika memiliki jiwa "cowboy". Bush memiliki pribadi yang sangat percaya diri dan keras kepala. Bush begitu yakin kalau ia memiliki nasib untuk menjadi seorang presiden AS.
Secara pribadi Stanley menggangap terjadinya perang ini tidak jauh dari seorang yang keras kepala meskipun pintar, dia tidak bisa menerima orang yang berbeda pendapat dengan dia, termasuk wakil presiden ke-46, Richard Bruce Cheney.
Ada sesuatu yang masuk akal mengenai perang Irak, menurut Stanley, Sadam Husein sudah hampir menguasai negara sekitarnya dan hampir berhasil menjadi penguasa yang besar di Asia tengah, jika sudah berhasil menguasai itu semua akan sulit hingga akhirnya Amerika memutuskan untuk menghentikan itu semua sebelum terlambat.
Dalam memutuskan untuk melakukan perang Bush berfikir bahwa dirinya mendapat dukungan dari tuhan, tapi alasan utamanya bukan karena agama melainkan hasil pemikirannya sendiri.
Stanley juga menyetujui kesimpulan yang terdapat dalam buku karya Richard Daulay mengenai campur tangan AS di Irak yang paling dasar adalah "neokonservatisme.
src="http://pagead2.googlesyndication.com/pagead/show_ads.js">
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment